📌 Mukadimah
Shalat adalah ibadah
pokok dalam Islam yang memiliki ketentuan waktu tesendiri, dan hendaknya
dilakukan sesuai waktunya (ada’an) itu, sebagaimana ayat:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS.
An Nisa (4): 103)
Juga hadits Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu
katanya:
سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ
عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ
أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku bertanya kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Amal apakah yang paling Allah cintai?
Beliau bersabda: Shalat pada waktunya. Lalu apa lagi? Beliau bersabda: Berbakti kepada kedua orang tua. Lalu apa
lagi? Beliau bersabda: Jihad fisabilillah. (HR. Bukhari No. 527 dan Muslim No.
85)
Adapun menyengaja
mengerjakan shalat tidak pada waktunya tanpa udzur syari, apalagi
meninggalkannya, telah dicela dalam ayat berikut:
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ
هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka celakalah bagi
orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (saahuun) dari shalatnya. (QS.
Al Ma’uun (107): 4-5)
📌 Dasar Hukum Mengqadha
Shalat
Ada beberapa hadits
yang menjadi pijakan dalam masalah ini:
📋 Dari Abu Qatadah
Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
ذَكَرُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ
إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ
تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي
الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ
صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا
فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda:
“Sesungguhnya bukan termasuk lalai
karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa
atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (HR. At Tirmidzi No.
177, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 437, Ibnu Majah No. 698, An Nasai No.
615, Ad Daruquthni, 1/386, Ibnu Khuzaimah No. 989, Ahmad No. 22546. Dishahihkan
oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth (Taliq Musnad Ahmad No. 22546), Syaikh Al Albani
(Shahihul Jami No. 2410), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun
dengan lafaz agak berbeda)
Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menerangkan:
اتفق العلماء على أن
قضاء الصلاة واجب على
الناسي والنائم
Para ulama sepakat
tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur. (Fiqhus
Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)
Yaitu wajib mengqadha
bagi shalat wajib, sedangkan shalat sunah tidak wajib di qadha, melainkan sunah
juga.
📋 Dari Anas bin Malik
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ
إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ
لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ
الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}
Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia
shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman:
“dirikanlah shalat untuk mengingatKu”). (HR. Bukhari No. 597)
📋 Dari Qatadah Radhiallahu ‘Anhu , katanya:
سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً
فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ
عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ
تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ
بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا
وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى
رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ
الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ
أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ
مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ
نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ
حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ
حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ
قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ
فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ
وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
“Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, Wahai
Rasulullah
Tausyiah Ustadz Farid Nu'man, [22.03.16 06:43]
, barangkali anda mau
istirahat sebentar bersama kami? Beliau menjawab: Aku khawatir kalian tertidur
sehingga terlewatkan shalat. Bilal berkata, Aku akan membangunkan kalian. Maka
merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi
rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi
shallallahu alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka
beliau pun bersabda: Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan! Bilal menjawab:
Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya. Beliau lalu
bersabda: Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai
kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai
Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat! kemudian
beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun
berdiri melaksanakan shalat. (HR. Bukhari No. 595)
Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat, bisa
disimpulkan dari hadits-hadits di atas:
📎Qadha itu terjadi jika
luputnya shalat karena lupa dan tertidur
📎Qadha dilakukan segera
ketika sadar atau ingat
📎Mengqadha shalat wajib
adalah wajib, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan: tidak ada
tebusan yang lain kecuali dengan itu.”
📎 Nabi dan para sahabat
pun pernah mengalaminya.
📌 Jika Selain Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?
Berkata para ulama:
واختلفوا
في وجوب القضاء
على تارك الصلاة
عمدا ، والمرتد
، والمجنون بعد
الإفاقة ، والمغمى
عليه ، والصبي
إذا بلغ في
الوقت ، ومن
أسلم في دار
الحرب ، وفاقد
الطهورين .
Para ulama berbeda
pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan shalat,
murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai waktunya,
masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan untuk bersuci.
(Al Mausuah, 34/26)
Mayoritas ahli fiqih
berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang
sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah,
bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jima di
siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya,
yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jima, sebab jika
karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena
sengaja lebih layak lagi untuk mengqadhanya.
Fuqaha lain
berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi Iyadh
mengatakan: Tidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu
Abdirrahman Asy Syafii.
Ada pun orang murtad,
bagi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
tidaklah wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab
keyakinan dia saat murtad memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan
Syafiiyyah menyatakan wajib qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk
peringatan keras untuknya, sebab keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat
gugur kewajibannya itu sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.
Abu Ishaq bin
Syaqila menyebutkan dari Imam Ahmad,
ada dua riwayat tentang kewajiban qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib
qadha. Inilah zhahirnya perkataan Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas
inilah tidak wajibnya qadha atas apa
yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum
murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak
wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau
sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah
terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.
Disebutkan dalam Al
Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang dia
tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan
ketika sudah murtadnya.
Sedangkan buat orang
gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan untuk
shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang qadha saat
sudah sadar/sembuh dari gilanya.
Sedangkan bagi orang
yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali
dia siuman/sadar saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan
shalat itu, maka dia wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah. Bagi kalangan Syafiiyah orang
yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan tidak wajib qadha
bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi sehari semalam.
Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan sama dengan hukum
tidur, bahwa kewajiban kewajiban tidak gugur, tapi mesti di qadha saat
bangunnya, seperti shalat dan puasa.
Sedangkan anak-anak
menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka diperintahkan shalat
saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun jika meninggalkan
shalat. Kalangan Syafiiyah menyatakan bahwa anak-anak walau sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan
shalat, lalu usianya sudah baligh maka perintah qadha itu menunjukkan anjuran
saja, sebagaimana perintah shalat
baginya. Pendapat lain Syafiiyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak
tetap wajib shalat jika sudah berakal (aqil), walau belum baligh.
Sedangkan orang Islam
di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka tahu
kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafiiyah, Hanabilah, dan juga
Malikiyah. Sedangkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan udzur karena
keadaanya.
Sedangkan bagi yang
tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib shalat,
atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang
dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafiiyah
mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia
melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat.
(Lihat semua ini dalam Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)
📓📕📗📘📙📔📒
✏️ Farid Nu'man Hasan
📚 Percik Iman, ilmu, dan
Amal
📡 Sebarkan! Raih amal
shalih
🌏 Join Telegram:
bit.ly/1Tu7OaC
💼
syariahonline-depok.com
Tausyiah Ustadz Farid Nu'man, [22.03.16 14:18]
Silakan Berkomentar...