Kajian Islam Whatsapp : Perintah dan Larangan Di Tangan (Bag. 2)

Ta'lim sore...

Perintah dan  Larangan Di Tangan (Bag. 2)


5. Memotong Kuku

Ini juga sunah fitrah, sebagaimana hadits pada point empat di atas. Berkata Syaikh Faishal An Najdi Rahimahullah:

قطع ما طال منها على اللحم، وفي ذلك تحسين الهيئة وكمال الطهارة

Memotong yang panjangnya melebih batasan daging, hal ini dapat memperbagus penampilan dan menyempurnakan kesucian. (Khulashah Al Ahkam, Hal. 32)

Dianjurkan  tangan kanan dulu, sebagaimana hadits dari AisyahRadhiallahu ‘Anha, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai memulai sesuatu dari kanan: memakai sendal, menyisir, bersuci, dan semua perbuatan lainnya. (HR. Bukhari No. 168)

Lalu, di mulai dari jari mana dahulu? Tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan hal ini, sebagaimana kata Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berikut:

وَلَمْ يَثْبُتْ فِي تَرْتِيبِ الْأَصَابِعِ عِنْدَ الْقَصِّ شَيْءٌ مِنَ الْأَحَادِيثِ

Tidak ada hadits yang shahih sama sekali dalam masalah urutan jari jemari yang dipotong kukunya. (Fathul Bari, 10/345. Lihat juga Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 22/45)

Tetapi Imam An Nawawi menyatakan  disukai dengan cara berikut:

وَيُسْتَحَبّ أَنْ يَبْدَأ بِالْيَدَيْنِ قَبْل الرِّجْلَيْنِ فَيَبْدَأ بِمُسَبِّحَةِ يَده الْيُمْنَى ، ثُمَّ الْوُسْطَى ثُمَّ الْبِنْصِر ثُمَّ الْخِنْصَر ثُمَّ الْإِبْهَام ثُمَّ يَعُود إِلَى الْيُسْرَى فَيَبْدَأ بِخِنْصَرِهَا ثُمَّ بِبِنْصِرِهَا إِلَى آخِرهَا ثُمَّ يَعُود إِلَى الرِّجْلَيْنِ الْيُمْنَى فَيَبْدَأ بِخِنْصَرِهَا وَيَخْتِم بِخِنْصَرِ الْيُسْرَى . وَاللَّهُ أَعْلَم .

Disunahkan memulai memotong kuku kedua tangan sebelum kuku kedua kaki. Dimulai dari kuku jari telunjuk kanan, lalu tengah, manis, kelingking, lalu jempol. Kemudian, tangan kiri dimulai dari jari kelingking,   manis, sampai selesai semua, lalu pindah ke kaki kanan, dimulai dari kelingking kanan dan diakhiri kelingking kiri.  Wallahu A’lam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/414)

Berapa lamakah waktu dibiarkannya memanjangkan kuku, rambut ketiak, memotong kumis,  rambut sekitar kemaluan dan sekitar dubur? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan interval, paling lama sampai empat puluh hari. Tetapi, bukan berarti terlarang mencukur atau memotongnya lebih cepat dari itu, jika memang sudah tumbuh panjang dan mengganggu.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

أَمَّا وَقْت حَلْقِهِ فَالْمُخْتَارِ أَنَّهُ يُضْبَط بِالْحَاجَةِ وَطُوله ، فَإِذَا طَالَ حُلِقَ ، وَكَذَلِكَ الضَّبْط فِي قَصّ الشَّارِب وَنَتْف الْإِبْط وَتَقْلِيم الْأَظْفَار . وَأَمَّا حَدِيث أَنَس الْمَذْكُور فِي الْكِتَاب ( وَقَّتَ لَنَا فِي قَصَّ الشَّارِب وَتَقْلِيم الْأَظْفَار وَنَتْف الْإِبْط وَحَلْق الْعَانَة لَا يُتْرَك أَكْثَر مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَة ) فَمَعْنَاهُ لَا يُتْرَك تَرْكًا يَتَجَاوَز بِهِ أَرْبَعِينَ لَا أَنَّهُمْ وَقَّتَ لَهُمْ التَّرْك أَرْبَعِينَ . وَاَللَّه أَعْلَم .

Ada pun waktu mencukurnya, pendapat yang dipilih adalah bahwa  batasannya itu sesuai kebutuhan dan ukuran panjangnya, jika sudah panjang maka mesti dicukur, demikian juga batasan dalam memotong kumis, mencabut rambut ketiak, dan memotong kuku. Ada pun hadits Anas yang disebutkan dalam kitab ini: “Kami diberikan waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, agar tidak membiarkannya melewati 40 hari.” Maknanya adalah jangan biarkan sampai melewati 40 hari, bukan bermakna mereka mesti membiarkan sampai 40 hari.” Wallahu A’lam (Ibid)

6. Larangan Istinja dan Menyentuh Kemaluan Pakai tangan kanan

Tangan kanan hendaknya dipakai untuk melaksanakan pekerjaan yang baik dan bersih. Inilah hikmah kenapa dilarang istinja   dengan tangan kanan, agar tidak tercampurnya antara yang kotor dan bersih. Kecuali, bagi mereka yang tidak memiliki tangan kanan, tentunya ini ‘udzur yang dimaafkan.

Dari Salman Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Rasulullah telah melarang kami buang air besar atau kencing menghadap kiblat, atau istinja dengan tangan kanan, atau istinja dengan kurang dari tiga batu, atau istinja dengan menggunakan kotoran hewan dan tulang. (HR. Muslim No. 262)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

( وَأَنْ لَا يَسْتَنْجِي بِالْيَمِينِ ) هُوَ مِنْ أَدَب الِاسْتِنْجَاء ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ مَنْهِيّ عَنْ الِاسْتِنْجَاء بِالْيَمِينِ ، ثُمَّ الْجَمَاهِير عَلَى أَنَّهُ نَهْي تَنْزِيه وَأَدَب لَا نَهْي تَحْرِيم ، وَذَهَبَ بَعْض أَهْل الظَّاهِر إِلَى أَنَّهُ حَرَام ، وَأَشَارَ إِلَى تَحْرِيمه جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا ، وَلَا تَعْوِيل عَلَى إِشَارَتهمْ ، قَالَ أَصْحَابنَا : وَيُسْتَحَبّ أَنْ لَا يَسْتَعِين بِالْيَدِ الْيُمْنَى فِي شَيْء مِنْ أُمُور الِاسْتِنْجَاء إِلَّا لِعُذْرٍ ، فَإِذَا اِسْتَنْجَى بِمَاءٍ صَبَّهُ بِالْيُمْنَى وَمَسَحَ بِالْيُسْرَى

(janganlah istinja dengan tangan kanan) ini adalah adab dalam istinja (cebok), para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa  istinja dengan tangan kanan terlarang. Lalu, mayoritas ulama mengatakan larangan ini bermakna makruh tanzih, bukan haram. Sebagian kalangan tekstualist(ahluzh zhahir) mengatakan bahwa ini diharamkan. Para sahabat kami (Syafi’iyah) juga mengisyaratkan keharamannya, namun tidak ada takwil atas isyarat mereka itu. Para sahabat kami mengatakan: disunahkan sama sekali tidak menggunakan tangan kanan dalam urusan istinja kecuali ada ‘udzur. Jika istinja dengan air, maka tangan kanan menyiramkan air, dan membersihkannya dengan tangan kiri. (Al Minhaj, 1/421)

7. Dilarang  menyentuh kemaluan dengan tangan kanan  

Hal ini juga dilarang sebagaimana istinja. Dari Qatadah Radhiallahu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ، وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ

Janganlah kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya  ketika dia sedang kencing, dan janganlah dia istinja (cebok) dengan tangan kanannya, dan jangan menghembuskan nafas pada bejana.(HR. Muslim, 267/63)

Dalam hadits lain, dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْخَلَاءَ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ

Jika kalian masuk ke tempat buang hajat, maka jangan menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya. (HR. Muslim, 267/64)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

امَّا إِمْسَاك الذَّكَر بِالْيَمِينِ فَمَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه لَا تَحْرِيم كَمَا تَقَدَّمَ فِي الِاسْتِنْجَاء ، وَقَدْ قَدَّمْنَا هُنَاكَ أَنَّهُ لَا يَسْتَعِين بِالْيَمِينِ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ مِنْ الِاسْتِنْجَاء

Ada pun memegang kemaluan dengan tangan kanan, itu adalah makruh, yaitu makruh tanzih, bukan haram sebagaimana penjelasan lalu tentang cebok. Kami telah menjelaskan di situ bahwa jangan menggunakan tangan kanan dalam hal cebok ini. (Al Minhaj, 1/426)

8. Dilarang makan dan minum pakai tangan kiri

Cukup banyak orang Islam yang tidak peduli dengan ini. Faktor kebiasaanlah yang membuatnya seperti itu, dan mereka juga enggan mengubahnya.

Hal ini terlarang, umumnya para ulama mengharamkannya sebab larangannya begitu keras.

Salamah bin Al Akwa’ Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ: «كُلْ بِيَمِينِكَ»، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: «لَا اسْتَطَعْتَ»، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

Ada seorang laki-laki yang makan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan kiri, maka Nabi berkata kepadanya: “Makanlah pakai tangan kananmu!” Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda: “Kamu tidak bisa melakukannya.” Tidaklah yang mencegah laki-laki itu melainkan kesombongannya. Beliau (Salamah) berkata: “Maka, laki-laki itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.”(HR. Muslim No. 2021)

Syaikh Fuad Abdul Baqi mengatakan: “Laki-laki ini adalah Bisr bin Ar Ra’i Al Asyja’i, sebagaimana penjelasan Ibnu Mandah, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Ibnu Makula, dan lainnya. Dia adalah seorang sahabat nabi yang terkenal. Mereka dan lainnya memasukkan laki-laki ini termasuk sahabat Nabi Radhiallahu ‘Anhum.” (Shahih Muslim, 3/1599)

Umar bin Salamah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

كُنْتُ فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ»

Saat itu saya di kamar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tanganku menyergah makanan di piring, Beliau bersabda kepadaku: “Wahai ghulam, sebutlah nama Allah, makanlah pakai tangan kananmu, dan makanlah yang terdekat.” (HR. Bukhari No. 5376, Muslim No. 2022)  

Kedua hadits ini menggunakan kata perintah makan menggunakan tangan kanan. Sehingga umumnya para ulama mengatakan haramnya makan menggunakan tangan kiri, dan itu merupakan cara syetan makan.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

قُلْتُ وَيَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْأَكْلِ بِالْيَمِينِ وُرُودُ الْوَعِيدِ فِي الْأَكْلِ بِالشِّمَالِ فَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يَأْكُلُ بِشِمَالِه ..........

Aku berkata: hadits ini menunjukkan wajibnya makan menggunakan tangan kanan. Telah sampai adanya riwayat tentang ancaman makan menggunakan tangan kiri. Terdapat dalam Shahih Muslim, dari hadits Salamah bin Al Akwa’ bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya ....... dst. (Lihat hadits pertama di atas). (Fathul Bari, 9/522)

Al Hafizh Ibnu Hajar melanjutkan:

وَثَبَتَ النَّهْيُ عَنِ الْأَكْلِ بِالشِّمَالِ وَأَنه من عمل الشَّيْطَان من حَدِيث بن عُمَرَ وَمِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ عِنْدَ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ عَائِشَةَ رَفَعَتْهُ مَنْ أَكَلَ بِشِمَالِهِ أَكَلَ مَعَهُ الشَّيْطَانُ الْحَدِيثَ وَنَقَلَ الطِّيبِيُّ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ أَيْ يَحْمِلُ أَوْلِيَاءَهُ مِنَ الْإِنْسِ عَلَى ذَلِكَ لِيُضَادَّ بِهِ عِبَادَ اللَّهِ الصَّالِحِينَ قَالَ الطِّيبِيُّ وَتَحْرِيرُهُ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنْ فَعَلْتُمْ كُنْتُمْ مِنْ أَوْلِيَاءِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْمِلُ أَوْلِيَاءَهُ عَلَى ذَلِكَ انْتَهَى

 Telah pasti larangan makan dengan tangan kiri, dan itu merupakan perbuatan syetan, sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir dalam  riwayat Muslim, juga riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan, dari ‘Aisyah dan Beliau menyandarkan ini sampai nabi, bahwa orang yang makan dengan tangan kiri maka syetan makan bersamanya. Ath Thayyibi menukilkan bahwa maksud sabdanya: syetan makan dengan tangan kiri adalah syetan membawa para wali (kawan karib)-nya dari kalangan manusia untuk melakukan itu  demi melakukan perlawanan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Berkata Ath Thayyibi: jadi janganlah makan dengan tangan kiri, sebab jika kalian melakukannya maka engkau akan menjadi wali-nya syetan, dan syetan itu akan membawa para wali-nya untuk melakukan hal itu. Selesai.  (Ibid)

9. Cara memakai cincin

Memakai cincin boleh di tangan kanan atau di kiri, semuanya boleh-boleh saja berdasarkan hadits shahih. Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhubercerita:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai cincin perak di tangan kanannya. (HR. Muslim No. 2094)

Dari Anas Radhiallahu ‘Anhu juga:

كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ، وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai cincin di sini, Beliau mengisyaratkan ke jari   kelingking tangan kirinya. (HR. Muslim No. 2095)

Dalam dua hadits di atas, kita memperoleh pelajaran bolehnya memakai cincin di tangan kanan atau kiri, dan di jari kelingking, lalu kebolehan memakai cincin perak.

Sedangkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakai cincin di jari tengah dan telunjuk. Berikut ini keterangannya.

Ali Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

«نَهَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ»، قَالَ: «فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيهَا»



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang saya memakaikan cincin jari saya yang ini atau yang ini. Beliau menunjukkan jari tengah dan sebelahnya. (HR. Muslim No. 2095)

Apakah yang dimaksud jari sebelahnya? Yaitu jari telunjuk, dijelaskan dalam riwayat lain, dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

« نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ أَتَخَتَّمَ، فِي السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى»



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakai cincin di telunjuk dan tengah. (HR. Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 17/112, juga Abu ‘Uwanah No. 8651, dari Idris)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وفي حديث علي نهاني صلى الله عليه وسلم أن أتختم في أصبعي هذه أو هذه فأومأ إلى الوسطى والتي تليها وروي هذا الحديث في غير مسلم السبابة والوسطى وأجمع المسلمون على أن السنة جعل خاتم الرجل في الخنصر وأما المرأة فإنها تتخذ خواتيم في أصابع قالوا والحكمة في كونه في الخنصر أنه أبعد من الامتهان فيما يتعاطى باليد لكونه طرفا ولأنه لايشغل اليد عما تتناوله من أشغالها بخلاف غير الخنصر ويكره للرجل جعله في الوسطى والتي تليها لهذا الحديث وهي كراهة تنزيه وأما التختم في اليد اليمنى أو اليسرى فقد جاء فيه هذان الحديثان وهما صحيحان

Dalam hadits Ali: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangku memakai cincin di jariku yang ini atau yang ini.” Beliau menunjuk jari tengah dan sebelahnya. Hadits  diriwayatkan oleh selain Imam Muslim menunjukkan jari telunjuk dan tengah. Kaum muslimin telah ijma’ bahwa sunah memakai cincin bagi laki-laki di jari manisnya. Ada pun wanita memakainya di jari mana pun. Mereka mengatakan, hikmahnya adalah bahwa posisi jari manis yang jauh dari pekerjaan yang biasa dilakukan oleh tangan karena kedudukannya di pinggir,   juga karena jari manis tidak sesibuk jari-jari lain, berbeda dengan jari  manis. Dimakruhkan bagi kaum laki-laki memakai cincin di jari tengah dan sebelahnya menurut hadits ini, yaitu makruh tanzih. Ada pun memakai cincin di tangan kanan atau kiri, maka keduanya telah ada keterangan dalam hadits yang shahih. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/71)


Selesai. Wallahu a'lam

(Farid Nu'man)

kajian islam whatsapp - sunnah nabi

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silakan Berkomentar...