Perintah dan Larangan di Tangan (bag.1)
Berikt ini adalah perintah dan larangan syariat di tubuh kita bagian tangan. Di antaranya adalah:
1. Mencuci tangan setelah bangun tidur
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِي وَضُوئِهِ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Jika kalian bangun tidur maka hendaknya mencuci tangannya sebelum memasukannya ke tempat air wudhunya, karena kalian tidak tahu di mana semalam tangan kalian bersemayam. (HR. Bukhari No. 162, Muslim No. 278)
Ini adalah sunah yang banyak dilalaikan kaum muslimin. Mereka langsung memasukan tangannya ke bejana air wudhu tanpa mencuci tangannya dulu. Perintah ini terkait dengan kemungkinan adanya kotoran atau najis yang bisa saja ada ditangan ketika tidur, baik karena mereka menyentuh atau menggaruk kemaluannya atau duburnya, tanpa mereka sadari saat tidur, sehingga dikhawatiri najis itu bercampur ke dalam air yang ada dalam bejana. Anjuran ini tidaklah teranulir walau kita berwudhu melalui air pancuran atau kran.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:
ثُمَّ الْأَمْرُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ عَلَى النَّدْبِ وَحَمَلَهُ أَحْمَدُ عَلَى الْوُجُوبِ فِي نَوْمِ اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ وَعَنْهُ فِي رِوَايَةِ اسْتِحْبَابِهِ فِي نَوْمِ النَّهَارِ وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَوْ غَمَسَ يَدَهُ لَمْ يَضُرَّ الْمَاءَ وَقَالَ إِسْحَاقُ وَدَاوُدُ وَالطَّبَرِيُّ يَنْجُسُ وَاسْتَدَلَّ لَهُمْ بِمَا وَرَدَ مِنَ الْأَمْرِ بِإِرَاقَتِهِ لَكِنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ
Kemudian, perintah ini menurut mayoritas ulama menunjukkan sunah, sedangkan Imam Ahmad memaknainya sebagai wajib pada tidur malam bukan pada tidur siang, dari Imam Ahmad juga dalam riwayat yang lain menyunnahkan pada tidur siang. Mereka sepakat seandainya mencelupkan tangan ke air, maka air tersebut tidaklah mengapa. Sedangkan Ishaq, Daud, dan Ath Thabari mengatakan airnya menjadi najis. Dalil mereka adalah riwayat yang menyebutkan perintah untuk menumpahkan air tersebut, tetapi hadits tersebut dhaif. (Fathul Bari, 1/264)
Imam Muslim menganggap bahwa langsung mencelupkan tangan ke bejana setelah bangun tidur, tanpa mencucinya dahulu, itu adalah makruh. Hal ini terlihat dari kitab Beliau, ketika membuat judul Bab:
بَابُ كَرَاهَةِ غَمْسِ الْمُتَوَضِّئِ وَغَيْرِهِ يَدَهُ الْمَشْكُوكَ فِي نَجَاسَتِهَا فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ غَسْلِهَا ثَلَاثًا
Bab dimakruhkannya mencelupkan tangan ke bejana bagi orang yang berwudhu atau lainnya, karena dikhwatiri terdapat najis padanya, sebelum dia mencucinya dulu sebanyak tiga kali. (Shahih Muslim, 1/233)
2. Mencuci tangan sebelum wudhu
Yang dimaksud mencuci tangan sebelum wudhu adalah mencuci tangan sebelum kumur-kumur wudhu. Yaitu mencuci bagian telapak, punggung tangan, dan selah-selah jari jemari. Mencuci tangan ini dilakukan bukan karena bangun tidur, tetapi memang ini bagian dari tata cara wudhu, baik sebelumnya dia tidur dulu atau tidak. Dilakukan sebanyak tiga kali cucian.
Dari Humran –pelayannya Utsman bin Affan-, Beliau melihat Utsman Radhiallahu ‘Anhu meminta diambilkan bejana:
فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الإِنَاءِ، فَمَضْمَضَ ...
Lalu Beliau memenuhi kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali lalu dia mencuci keduanya, kemudian memasukan tangan kanannya ke bejana (untuk ambil air), lalu dia berkumur-kumur, .... (HR. Bukhari No. 159, Muslim No. 226)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:
وَفِيهِ غَسْلُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ عَقِبَ نَوْمٍ احْتِيَاطً
Dalam hadits ini terdapat keterangan mencuci kedua tangan sebelum memasukannya ke bejana, walaupun bukan disebabkan bangun tidur dalam rangka kehati-hatian. (Fathul Bari, 1/259)
Imam Al Qasthalani mengatakan bahwa membersihkan kedua tangan dilakukan secara berbarengan, sebagaimana membersihkan telinga juga demikian. (Irsyad As Saari, 1/244)
Imam Syamsudin Safiri Asy Syafi’i menjelaskan:
أن فيه دلالة على استحباب غسل اليدين في الوضوء إلى الكوعين، وعلى استحباب غسلهما قبل إدخالهما في الإناء. قال علماؤنا: من سنن الوضوء غسل الكفين إلى الكوعين ...
Pada hadits ini terdapat petunjuk tentang sunahnya mencuci kedua tangan saat wudhu sampai kedua siku. Kesunahan mencuci keduanya dilakukan sebelum memasukannya ke dalam bejana. Para ulama kita mengatakan: Di antara sunah wudhu adalah mencuci kedua telapak tangan sampai ke sikunya .. (Al Majalis Al Wa’zhiyah, 2/370)
3. Membersihkan kedua lengan sampai siku ketika wudhu
Ini termasuk fardhunya wudhu, yang jika tidak dilakukan maka tidak sah. Berdasarkan ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ .
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. (QS. Al Maidah: 6)
Makna dari ilal maraafiq (sampai ke siku) adalah ma’al maraafiq(bersama siku), artinya siku termasuk bagian tangan yang mesti dibasahi dan dicuci juga. Inilah yang shahih, dan merupakan pegangan mayoritas ulama. Dan orang-orang Arab memaknai kata “yadun” (tangan) yaitu dari ujung jari jemari sampai pangkal tangan. (Imam Al Qurthubi, Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, 6/86, secara ringkas)
Dalam hadits pun sangat banyak keterangan tentang wudhunya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau mencuci tangannya sampai kedua sikunya.
Dari Humran –pelayannya Utsman bin Affan-, Beliau melihat Utsman Radhiallahu ‘Anhu meminta diambilkan bejana:
فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الإِنَاءِ، فَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، وَيَدَيْهِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مِرَارٍ
Lalu Beliau memenuhi kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali lalu dia mencuci keduanya, kemudian memasukan tangan kanannya ke bejana (untuk ambil air), lalu dia berkumur-kumur, lalu istinsyaq, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, dan kedua tangannya sampai ke siku sebanyak tiga kali, .... (HR. Bukhari No. 159, Muslim No. 226)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
قَوْلُهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ أَيْ كُلُّ وَاحِدَةٍ كَمَا بَيَّنَهُ الْمُصَنِّفُ فِي رِوَايَةِ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ فِي الصَّوْمِ وَكَذَا لِمُسْلِمٍ مِنْ طَرِيقِ يُونُسَ وَفِيهَا تَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Ucapannya: “Dan kedua tangannya sampai sikunya” yaitu masing-masing tangan, sebagaimana dijelaskan oleh penyusun kitab ini, dalam riwayat Ma’mar, dari Az Zuhri, tentang shaum, demikian juga dalam riwayat Muslim, dari jalan Yunus, dan di dalamnya terdapat keterangan mendahulukan tangan kanan sebelum tangan kiri. (Fathul Bari, 1/260)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan tentang di antara kewajiban dalam wudhu:
(الفرض الثالث) غسل اليدين إلى المرفقين، والمرفق هو المفصل الذي بين العضد والساعد، ويدخل المرفقان فيما يجب غسله وهذا هو المضطرد من هدي النبي صلى الله عليه وسلم، ولم يرد عنه صلى الله عليه وسلم أنه ترك غسلهما
(Fardhu yang ketiga) mencuci kedua tangan sampai ke siku. Siku adalah batasan antara lengan atas dan lengan bawah (hasta). Dua siku termasuk bagian yang wajib dibasuh, hal ini terdapat dalam petunjuk NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/43)
4. Mencabut Bulu Ketiak
Ini adalah sunah fitrah. Mencabut lebih utama dibanding mencukur. Sebab teks hadits menyebutkan demikian, sebagaimana riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الآبَاطِ
Sunah fitrah ada lima: khitan, mencukur kemaluan, memotong kumis, memendekkan kuku, dan mencabut bulu ketiak. (HR. Bukhari No. 5891, Muslim No. 257)
Kenapa lebih utama dicabut dibanding dicukur? Imam Al QasthalaniRahimahullah memberikan penjelasan:
والأفضل النتف لإضعاف المنبت فإن الإبط إذا قوي فيه الشعر وغلظ جرمه كان أفوح للرائحة الكريهة فناسب إضعافه بالنتف بخلاف العانة
Lebih utama adalah mencabut, karena itu bisa melemahkannya untuk numbuh lagi, dan ketiak jika banyak rambutnya akan sangat mengganggu tubuh, akan menyebar aroma yang tidak mengenakkan. Maka, dilemahkan aromanya itu dengan mencabutnya, berbeda dengan rambut kemaluan (yang lebih utama dicukur, pen). (Irsyadus Saari, 8/423)
Imam Al Munawi juga mengatakan:
وأما نتف الإبط فمتفق على ندبه وتحصل السنة بإزالته بحلق أو نورة لكن النتف أولى لأن الإبط محل الريح الكريه ونتفه يضعف أصوله ويرقق جرمه فيخف الاحتباس فتقل الرائحة المتعفنة
Ada pun mencabut rambut ketiak, telah disepakati sunahnya, yaitu dengan menghilangkannya dengan memotong atau mencukurnya, tetapi mencabut lebih utama, karena ketiak merupakan wilayah yang beraroma tidak sedap, dan mencabutnya akan melemahkan akarnya dan membaguskan tubuh, sehingga lebih bebas bergerak, dan mengurangi bau yang busuk. (Faidhul Qadir, 4/517)
Namun, dibolehkan dicukur, jika memang dicabut menyakitkan atau menyulitkan. Berkata Syaikh Faishal An Najdi Rahimahullah:
قوله: ((ونتف الآباط)) : إزالة ما نبت عليها من الشعر بالنتف وهو السنة، ويجوز إزالته بغير ذلك.
Sabdanya: (mencabut bulu ketiak), maksudnya menghilangkan rambut yang tumbuh padanya, dengan cara mencabutnya, dan itu sunah, dan dibolehkan menghilangkannya dengan cara selain mencabut.(Khulashah Al Kalam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 32)
Dahulu, Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu pun mencukurnya, karena Beliau tidak kuat sakitnya dicabut rambut ketiaknya. Hal ini diceritakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:
أَمَّا ( نَتْف الْإِبْط ) فَسُنَّة بِالِاتِّفَاقِ ، وَالْأَفْضَل فِيهِ النَّتْف لِمَنْ قَوِيَ عَلَيْهِ ، وَيَحْصُل أَيْضًا بِالْحَلْقِ وَبِالنُّورَةِ ، وَحُكِيَ عَنْ يُونُس بْن عَبْد الْأَعْلَى قَالَ : دَخَلْت عَلَى الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه - وَعِنْده الْمُزَيِّن يَحْلِق إِبْطه فَقَالَ الشَّافِعِيّ : عَلِمْت أَنَّ السُّنَّة النَّتْف ، وَلَكِنْ لَا أَقْوَى عَلَى الْوَجَع ، وَيُسْتَحَبّ أَنْ يَبْدَأ بِالْإِبِطِ الْأَيْمَن
Ada pun “mencabut bulu ketiak” itu disunahkan menurut kesepakatan, dan ini lebih utama bagi orang kuat dicabut. Hal ini juga sudah mencukupi dengan mencukur dan memotongnya. Dikisahkan dari Yunus bin Abdil A’la, katanya: Aku masuk ke tempatnya Asy Syafi’i Rahimahullah, di sisinya terdapat alat pencukur yang memendekkan bulu ketiaknya. Asy Syafi’i berkata: “Aku tahu bahwa sunahnya adalah mencabut, tetapi aku tidak kuat rasa sakitnya.” Dan disunahkan memulai dari ketiak kanan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/414)
Bersambung ya .. (Farid Nu'man)
Silakan Berkomentar...