PAMAN, LIHATLAH, BIDADARI YANG PERNAH KUCERITAKAN PADAMU ADA
DI DEKATKU... DIA MENUNGGU RUHKU KELUAR..
°°°°°°°°°
🍃Hari itu, di salah satu
sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.
Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang
sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari
satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau
persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah,
derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah
dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan
jihad.
”Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan
di hari-hari jihadmu,” tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
“Ya,” jawab Abu Qudamah. "Beberapa tahun lalu. Aku
singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku. Saat
aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku
buka ternyata seorang perempuan.
”Engkaukah Abu Qudamah?” tanyanya. ”Engkaukah yang
menghasung umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.
“Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak
dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi
tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat. Aku
berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh,
saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus
pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat. Kalau
pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku
berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi
sabilillah. Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya
telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang,
aku akan memenuhi seruannya,” ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan
“iya”.
”Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah
mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya. Ia telah
menghapal Al-Qur’an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam
dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus
suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia.
Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala,” kata-kata
sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat
darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya.
”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang,”
pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya. Aku pun segera
meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan
himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.
💨Keesokan harinya, aku
bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca. Tatkala kami tiba di benteng
Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda
yang memanggil-manggil.
“Abu Qudamah!” serunya. “Abu Qudamah, tunggu sebentar,
semoga Allah merahmatimu.”
Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan,
“tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini.”
Dia mendekat dan memelukku.
”Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi
pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,” ucapnya.
“Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu,” pintaku.
Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama.
Terpancar darinya cahaya ketaatan.
”Kawan, apakah engkau memiliki Abi?” tanyaku.
“Justru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian
Abi. Dia (insya Allah) telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku
syahid seperti Abi,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya
terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah beliau. Sungguh
baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, jannah di ba
wah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu”
“Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku.”
“Tidak.”
“Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau
melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu”
“Aku, insya Allah, adalah seorang syahid putra seorang
syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut
berjihad fi sabilillah bersamamu. Aku telah menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga
telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah. Tak
ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya
karena aku masih belia.”
"Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau
berpesan; 'Nak, jika kau telah melihat musuh, jangan pernah kau lari.
Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadilah
tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh di jannah. Jika nantinya kau
menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi syafa’at. Aku pernah
mendengar faedah bahwa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orang
keluarganya dan juga 70 orang tetangganya. Ummi pun memelukku dengan erat dan
mendongakkan kepalanya ke langit;
'Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah
hatiku.. aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya,”
terang sang pemuda.Kata-katanya terus mendobrak tanggul air
mataku.
Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku
tersedu-sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda, namun begitu
tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan kalbu sang ibu. Betapa sabarnya
ia.
Melihatku menangis, sang pemuda bertanya,
“Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah
usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap
mengadzabnya jika bermaksiat !?”
“Bukan,” aku segera menyanggah.
“Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis karena kalbu
ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?”
🌴Akhirnya aku
menerimanya sebagai bagian dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu
berdzikir kepada Allah Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah
mengendalikan kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif
melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah,
semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda
kebahagiaan semakin terpancar darinya.
Kami terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas. Hingga
kami tiba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk
terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka
untuk pasukan. Memang, hari itu kami
berpuasa. Dan dikarenakan hal inilah juga khidmatnya kepada pasukan selama
perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan.
Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya dan membiarkan si
pemuda tidur. Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang menghiasi wajahnya.
”Lihatlah, ia tersenyum!” kataku pada teman keheranan.
Setelah bangun, aku bertanya padanya, “kawan, saat tertidur
kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?”
“Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia,” jawabnya
”Ceritakanlah padaku!” pintaku penasaran.”
📢"Aku seperti di
sebuah taman hijau nan permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku
untuk berjalan-jalan. Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan
istana perak, balkonnya dari batu permata dan mutiara serta pintu-pintunya dari
emas. Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku dari bagian dalam istana.
Namun tak lama, keluarlah gadis-gadis menyingkap tirai-tirainya.
Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan. Kutatap wajah-wajah
cantik itu dengan penuh kekaguman, amboi cantiknya.”Marhaban,” kata salah
seorang dari mereka tahu ku memandanginya.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya.
Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata, “Belum. Ini belum waktunya.
Janganlah terburu-buru.”
Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka,
“Ini suami Al Mardhiyah.”
Mereka berkata kepadaku, ”kemarilah, yarhamukalloh.”
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah
berdiri di depanku.
Mereka membaw
aku ke atas istana. Di sebuah kamar, seluruhnya dari emas
merah yang berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan
permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih. Dan di atasnya. .
.seorang gadis belia dengan wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu dan penglihatanku,
niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap
kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungguh engkau
adalah milikku dan aku adalah milikmu” katanya menyambutku, membuatku tak
terasa hendak memeluknya.
”Sebentar...Janganlah terburu-buru. Belum waktunya. Aku
berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah,”
sang pemuda mengakhiri kisahnya.
🔖Lalu, aku berusaha
membangkitkan himmahnya,
“Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan
nantinya.” Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang
pemuda.
📍Esok hari, kami bersiap
menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan,
senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.
Semangat pun semakin berkobar saat mendengar hasungan,
“wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda
kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh
kalian ataupun terasa berat.”
Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba di hadapan kami.
Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana.Perang campuh pun
terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan
gema takbir kaum muslimin.
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah
suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda itu. Iya, dimana pemuda
itu…Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di tengah medan laga. Ternyata dia
di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyibak skuadron kuffar
dan memporak porandakan barisan mereka.
Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu
banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati ini tak tega melihatnya.
Aku segera menyusulnya di depan.
“Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya
pertempuran. Kembalilah ke belakang,”
teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil
menarik tali kekang kudanya.
“Paman, tidakkah kau membaca ayat {{ wahai segenap kaum
mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian
mundur ke belakang }} [Al Anfal:15]. Sudikah engkau aku masuk neraka ?” serunya
menimpali.
Saat kucoba memahamkannya, serbuan kavelari kuffar
memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin
bergejolak.
Dalam kancah pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda
diiringi gemerincing pedang dan hujan panah. Lalu mulailah kepala berjatuhan
satu persatu. Bau anyir darah tercium dimana-mana. Tangan dan kaki
bergelimpangan. Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah. Demi Allah,
perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan
orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan
suhu memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.
▪Saat perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus
mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh. Aku berkeliling
mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat, sungguh wajah
mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.
Dimana sang pemuda ? Aku terus melanjutkan pencarian. Dan
tiba-tiba aku mendengar suara lirih,
”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”
Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara,
ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan.
Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu.
Hampir aku tak mengenalnya.
💦Aku segera
mendatanginya. “Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!” isakku tak kuasa
menahan tangis.
Aku sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang
menutupi wajah polosnya.
”Paman, demi Rabb ka’bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah
putra ibu pemilik rambut k
epang itu. Aku telah berbakti padanya, ku kecup keningnya
dan ku hapus debu dan darah yang terkadang mengalir di wajahnya,” kenangnya.
💦Sungguh aku benar-benar
tak kuasa dengan kejadian ini.
“Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia
syafa’at nanti di hari kiamat.”
“Orang sepertimu tak kan pernah kulupakan.”
”Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya.
“Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak
untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku,
paman."
"Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan
padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya;
'sayang, bersegeralah. Aku rindu.'
"Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang
berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak
pernah menyia-nyiakan petuahnya. Juga agar beliau tahu aku bukanlah pengecut
melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan
hadiahmu telah diterima Allah. Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan
bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia
sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau
kutinggalkan."
"Saat ku meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku
cepat kembali. “Kak, cepat pulang, ya.” Itulah kata-katanya yang masih
terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku
padanya dan katakan; 'Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari
kiamat, ”
kata-katanya terus membuat air mataku meleleh.
💦Menetes dan terus
menetes membuat aliran sungai di pipi.
”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah,
sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang
dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan
rasul-Nya,”
itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari
jasadnya.
Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.
Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke
Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.
Celakanya aku, aku belum mengetahui nama si pemuda dan
dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap sudut, gang
dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku mendapatkan seorang gadis mungil.
Wajahnya bersinar mirip si pemuda.
Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap
kali melihat orang baru datang dari bepergian, ia bertanya,
“Paman, anda datang darimana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya
“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil
berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang
dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu?”, tanya gadis itu.
“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.
💦Gadis itu pun tak bisa
menahan rindu kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,
”mengapa mereka semua kembali dan kakakku tak kunjung
kembali?”
Aku iba kepadanya. Ku coba menghampiri tanpa membawa
ekspresi kesedihan.
“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”
Mendengar suaraku, sang ibu keluar.
”Assalamu’alaiki,” salamku.”Wa’alaikum salam,” jawabnya.
“Engkau ingin memberiku kabar gembira atau berbela
sungkawa?” lanjutnya.
“Maksud, ibu ?”
“Jika putraku datang dengan selamat, berarti engkau berbela
sungkawa. Jika dia mati syahid, berarti engkau kemari membawa kabar gembira,”
terangnya.
”Bergembiralah. Allah telah menerima hadiahmu.”
Ia pun menangis terharu.
“Benarkah?”
“Iya."
Benar-benar ia tak kuasa menahan tangis.
”Alhamdulillah.Segala puji milik Allah yang telah
menjadikannya tabunganku di hari kiamat,” pujinya kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Para sahabat Abu Qudamah mendengarkan kisahnya dengan penuh
kekaguman.
”Lalu gadis kecil itu bagaimana?” tanya salah seorang dari
mereka.
”Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya,
'Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; 'Dik,
Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti”.
💦 Tiba-tiba dia menangis
sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sadarkan diri.
Dan set
elah itu nyawanya tiada.
☔Sang ibu mendekapnya dan
menahan sabar atas semua musibah yang menimpanya. Aku benar-benar terharu
melihat kejadian ini. Aku serahkan padanya sekantong uang, berharap bisa
mengurangi bebannya. Sang ibu pun melepas kepergianku. Aku meninggalkan mereka dengan kalbu yang
penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis
kecil itu kepada kakaknya…(SELESAI)
—————————————————————-
🌻Ya Rohman Ya Rohiim
Kabulkanlah seuntai do’a kami. Memang terasa berat meniti jalan jannah-Mu.
Syahwat yang selalu menyambar, Syubhat yang terus menghantam, setan yang tak
pernah menyerah dan nafsu jahat yang senantiasa memberontak. Sedangkan kalbu
ini lemah, ya Rabb.
Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah kami ini berislam. Tidak
pula mengerjakan sholat, tidak pula bersedekah. Teguhkanlah kaki kami di atas
jalan-Mu ini !
————————————————–
Oleh Al-Akh Yahya Al-Windany
Diterjemahkan dengan beberapa editing tanpa merubah tujuan
dan makna dari Kitab ‘Uluwwul Himmah indan Nisaa’, 212-217.
Lihat juga:
1. Masyari’ul Asywaqi ila Mashori’il Usysyaqi: 1/285-290.2.
Sifatush Shofwah: 2/369-3703.
Tarikh Islam: 1/214-215
Silakan Berkomentar...